Follow Me

Rabu, 11 Januari 2017

FENOMENA KETURUNAN CINA DI INDONESIA


FENOMENA KETURUNAN CINA DI INDONESIA




Hampir semua angkatan sekitar tahun 1960-an sampai dengan 1990-an WNI Keturunan Tionghoa di Indonesia saat ini sama sekali tidak bisa berbahasa Tionghoa. Ini adalah sedikit dari dampak kebijakan pemerintahaan rezim Soeharto yang sangat rasialis, yang berupaya memusnahkan budaya Tionghoa dari muka bumi Nusantara dengan berbagai macam produk peraturan yang dibuatnya. Dengan alasan untuk membendung arus komunisme pasca penumpasan PKI dengan G30S-nya.

Soeharto yang mengkudeta Soekarno dengan cara tak langsung itu mulai menerapkan banyak peraturan yang isinya melarang semua budaya yang berasal dari Tiongkok. Termasuk agama, bahasa, huruf dan adat-istiadatnya. Sasarannya adalah semua orang Tionghoa di Indonesia tanpa kecuali. Seolah-olah semua Tionghoa itu identik dengan komunis atau berpotensi besar sebagai pembawa ajaran komunis. Padahal fakta berbicara lain, bahwa sebagian besar WNI Tionghoa adalah pedagang. Sedangkan komunisme tidak menolerir perdagangan yang memperkaya individu-individunya. Juga fakta bahwa banyak WNI Tionghoa yang beragama, baik itu Kristen, Kong Hu Cu, Budha, maupun Islam. Begitu phobia-nya Soeharto, atau begitu antinya dia terhadap semua hal yang bernuansa Tionghoa, sampai-sampai agama Kong Hu Cu pun digolongkan sebagai ajaran yang tidak diakui dan gerak-geriknya diawasi negara.


Kebijakan pemerintah rezim Soeharto yang antisemua yang berunsur Tionghoa – kecuali uangnya itu – baru berakhir ketika Soeharto berhasil dipaksa turun dari tahtanya, dan dimulainya era reformasi. Diawali dengan kebijakan yang dilakukan oleh Presiden Abdurrachman Wahid (Gus Dur) yang mencabut semua peraturan pemerintah yang melarang dan atau membatasi pengekspresian budaya dan adat-istiadat Tionghoa, mengakui eksistensi agama Kong Hu Cu, menyatakan Imlek sebagai hari libur fakulatif (1999), yang kemudian diikuti oleh Presiden Megawati yang meneruskan kebijakan Gus Dur tersebut, dan menyatakan Imlek sebagai hari libur resmi nasional (2003). Dalam sejarah dunia, hanya Indonesia sajalah satu-satunya negara yang secara formal sistematis melalui peraturan-peraturan negara yang resmi melarang suatu budaya dan agama mengekspresikan dirinya secara bebas. Sedemikian ketat dan kerasnya sampai mempersamakan pelanggaran dari larangan tersebut sama dengan tindak pidana kejahatan terhadap negara.

0 komentar:

Posting Komentar