Follow Me

Kamis, 06 April 2017

STUDI KASUS TENTANG ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAAN



PERAN SASTRA DALAM KANCAH PENDIDIKAN BANGSA





Sastra sangat terkait erat dalam kehidupan manusia. Ia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan budaya dan peradaban karya cipta manusia itu sendiri. Sastra dan manusia serta kehidupannya adalah sebuah persoalan yang penting dan menarik untuk dibahas secara komprehensif. Manusia menghidupi sastra dan kehidupan sastra adalah kehidupan manusia. Kekuatan sastra yang dahsyat mampu mengubah moralitas dan karakter manusia ke dalam persepsi kehidupan yang berbeda.

Para pendidik di negara-negara maju sudah menyadari bahwa sastra punya kekuatan besar yang sanggup merasuk ke hati pelajar, sehingga moralitas mereka juga bisa tertata. Hal itu terbukti di negara-negara seperti Inggris, Amerika, Perancis, Jerman, dan negara-negara maju lainnya, bahwa pendidikan sastra banyak mempengarui moralitas para siswa di sekolah. Ada perbedaan yang signifikan antara siswa yang diajarkan sastra dengan yang tidak. Siswa yang diajarkan sastra hampir tidak pernah berperilaku negatif seperti terlibat perkelahian, nge-drug, dan melakukan tindak kejahatan kriminal. Sastra ternyata mampu menata etika mereka dengan budi pekerti yang baik.

Bicara tentang sastra, ada penelitian yang menarik. Bahwa, berdasarkan hasil dari beberapa penelitian di luar negeri, menunjukan ternyata berpuisi—sebagai salah satu bagian dari sastra—selain mampu memanajemen stress, yang notabene pemicu dari lahirnya tindak kekerasan, juga memberikan efek relaksasi serta mencegah penyakit jantung dan gangguan pernafasan.  Sayangnya, sastra di negara kita belum maksimal benar masuk ke ranah pendidikan. Terutama sastra untuk pendidikan pelajar tingkat sekolah dasar hingga menengah atas. Pendidikan sastra seolah hanya menjadi pelengkap dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Sastra dianggap sebagai hafalan belaka. Siswa mengenal novel-novel sastra seperti Sengsara Membawa Nikmat karya Sutan Sati atau Tenggelamnya Vanderwijk karya Buya Hamka, dan sebagainya karena mereka terpaksa atau bisa jadi dipaksa menghafal. Sebatas tahu judul buku dan penulisnya, serta membaca sebagian kutipan yang ada di salah satu halaman buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk sekedar berjaga-jaga kalau keluar dalam soal ujian.

Ujungnya, sastra hanya berlabuh dalam aktivitas menghafal, mencatat, ujian dan selesai. Metodenya hampir sama dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi. Sehingga minat terhadap dunia sastra benar-benar tak terlintas dalam benak para pelajar. Pendidikan formal relatif sangat kecil dalam perannya melahirkan sastrawan. Bisa dibilang, sastrawan, penyair, dan penulis-penulis hebat besar di jalanan, bukan karena pendidikan sastra dari lingkungan formal. Padahal kalau mau melihat lebih luas, ternyata karya-karya anak bangsa justru banyak diapresiasi di luar negeri. Contohnya karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan Buya Hamka telah menjadi bacaan wajib di negara seperti Malaysia, Cina, dan Belanda. Karya-karya mereka menjadi rujukan penting dalam memahami dunia sastra.

Opini :
Kini sudah saatnya dunia pendidikan tidak melihat sastra sebelah mata. Sastra bukan barang langka yang hanya tersimpan di museum. Sastra bukan mahluk asing yang hanya diperlakukan sebatas pengenalan dan penghafalan identitas. Dunia pendidikan di negara kita harus sudah memisahkan sastra dari pelajaran Bahasa Indonesia, mendalami sastra secara lebih luas, melahirkan sastrawan-sastrawan besar dari pendidikan formal dan memfungsikan dengan maksimal kekuatan sastra untuk mendidik generasi dan kehidupan berbangsa. Sejatinya sastra merupakan unsur yang amat penting yang mampu memberikan wajah manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, harmoni, irama, proporsi, dan sumbilmasi dalam setiap gerak kehidupan manusia dalam menciptakan peradaban. Jika sastra tercerabut dari akar kehidupan manusia, maka manusia tak lebih dari sekedar hewan berakal. Untuk itulah sastra harus ada dan selalu harus diberadakan. Kembali mengutip bukunya Anis Matta, “Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar mereka berani mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar mereka berani melawan ketidakadilan. Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar mereka berani menegakan kebenaran. Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar jiwa-jiwa mereka hidup. Ajarkan sastra yang mengajarkan keberanian.”

Sumber :

0 komentar:

Posting Komentar