PERAN
SASTRA DALAM KANCAH PENDIDIKAN BANGSA
Sastra sangat terkait
erat dalam kehidupan manusia. Ia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam
perjalanan budaya dan peradaban karya cipta manusia itu sendiri. Sastra dan
manusia serta kehidupannya adalah sebuah persoalan yang penting dan menarik untuk
dibahas secara komprehensif. Manusia menghidupi sastra dan kehidupan sastra
adalah kehidupan manusia. Kekuatan sastra yang dahsyat mampu mengubah moralitas
dan karakter manusia ke dalam persepsi kehidupan yang berbeda.
Para pendidik di
negara-negara maju sudah menyadari bahwa sastra punya kekuatan besar yang
sanggup merasuk ke hati pelajar, sehingga moralitas mereka juga bisa tertata.
Hal itu terbukti di negara-negara seperti Inggris, Amerika, Perancis, Jerman,
dan negara-negara maju lainnya, bahwa pendidikan sastra banyak mempengarui
moralitas para siswa di sekolah. Ada perbedaan yang signifikan antara siswa
yang diajarkan sastra dengan yang tidak. Siswa yang diajarkan sastra hampir
tidak pernah berperilaku negatif seperti terlibat perkelahian, nge-drug, dan
melakukan tindak kejahatan kriminal. Sastra ternyata mampu menata etika mereka
dengan budi pekerti yang baik.
Bicara tentang sastra,
ada penelitian yang menarik. Bahwa, berdasarkan hasil dari beberapa penelitian
di luar negeri, menunjukan ternyata berpuisi—sebagai salah satu bagian dari
sastra—selain mampu memanajemen stress, yang notabene pemicu dari lahirnya
tindak kekerasan, juga memberikan efek relaksasi serta mencegah penyakit
jantung dan gangguan pernafasan. Sayangnya, sastra di negara kita belum
maksimal benar masuk ke ranah pendidikan. Terutama sastra untuk pendidikan
pelajar tingkat sekolah dasar hingga menengah atas. Pendidikan sastra seolah
hanya menjadi pelengkap dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Sastra dianggap
sebagai hafalan belaka. Siswa mengenal novel-novel sastra seperti Sengsara
Membawa Nikmat karya Sutan Sati atau Tenggelamnya Vanderwijk karya Buya
Hamka, dan sebagainya karena mereka terpaksa atau bisa jadi dipaksa menghafal.
Sebatas tahu judul buku dan penulisnya, serta membaca sebagian kutipan yang ada
di salah satu halaman buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk sekedar
berjaga-jaga kalau keluar dalam soal ujian.
Ujungnya, sastra hanya
berlabuh dalam aktivitas menghafal, mencatat, ujian dan selesai. Metodenya
hampir sama dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi. Sehingga minat
terhadap dunia sastra benar-benar tak terlintas dalam benak para pelajar.
Pendidikan formal relatif sangat kecil dalam perannya melahirkan sastrawan.
Bisa dibilang, sastrawan, penyair, dan penulis-penulis hebat besar di jalanan,
bukan karena pendidikan sastra dari lingkungan formal. Padahal kalau mau
melihat lebih luas, ternyata karya-karya anak bangsa justru banyak diapresiasi
di luar negeri. Contohnya karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan Buya Hamka
telah menjadi bacaan wajib di negara seperti Malaysia, Cina, dan Belanda.
Karya-karya mereka menjadi rujukan penting dalam memahami dunia sastra.
Opini
:
Kini sudah saatnya
dunia pendidikan tidak melihat sastra sebelah mata. Sastra bukan barang langka
yang hanya tersimpan di museum. Sastra bukan mahluk asing yang hanya
diperlakukan sebatas pengenalan dan penghafalan identitas. Dunia pendidikan di
negara kita harus sudah memisahkan sastra dari pelajaran Bahasa Indonesia,
mendalami sastra secara lebih luas, melahirkan sastrawan-sastrawan besar dari
pendidikan formal dan memfungsikan dengan maksimal kekuatan sastra untuk
mendidik generasi dan kehidupan berbangsa. Sejatinya sastra merupakan unsur
yang amat penting yang mampu memberikan wajah manusiawi, unsur-unsur keindahan,
keselarasan, keseimbangan, perspektif, harmoni, irama, proporsi, dan sumbilmasi
dalam setiap gerak kehidupan manusia dalam menciptakan peradaban. Jika sastra
tercerabut dari akar kehidupan manusia, maka manusia tak lebih dari sekedar
hewan berakal. Untuk itulah sastra harus ada dan selalu harus diberadakan.
Kembali mengutip bukunya Anis Matta, “Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar
mereka berani mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Ajarkan sastra pada
anak-anakmu agar mereka berani melawan ketidakadilan. Ajarkan sastra pada
anak-anakmu agar mereka berani menegakan kebenaran. Ajarkan sastra pada
anak-anakmu agar jiwa-jiwa mereka hidup. Ajarkan sastra yang mengajarkan
keberanian.”
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar